Jumat, 26 Maret 2021

Benar Ulama Abiyasa Tidak Pernah Minta Jatah" Karya Shoim Anwar

"Benar Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah" karya Shoim Anwar

Berbicara tentang manusia adalah membicarakan tentang kehidupan. Bagaimana seorang manusia menjalani kehidupannya. Peran apakah yang akan diambil. Bukan tentang baik atau tidaknya peran yang akan diambil oleh seorang manusia tersebut dalam kehidupan, tapi bagaimana ia menepatkan di posisi mana dan berdampak apa pada kehidupan yang akan dilaluinya. Begitupun dalam puisi yang akan saya uraikan di bawah ini. Puisi ini memiliki makna bagaimana hakikat dari seorang ulama. Seorang ulama yang mampu menempatkan perannya dengan tepat, tidak terjerumus atau masuk ke dalam jurang keduniawian. Seorang ulama yang berprinsip dan mampu berdiri sendiri tak terpengaruh oleh lingkungan maupun nafsunya. Padahal bisa saja ia mampu memanfaatkan gelar ulamanya untuk kepentingannya sendiri. Namun, ia tidak melakukannya karena hal tersebut dapat menodai hakikat dari gelar ulama itu sendiri dan tidak mampu membohongi hati kecilnya bahwa ulama haruslah berdiri di atas segalanya dan mampu berdaulat.


Baiklah mari kita uraikan makna tiap bait dalam puisi Ulama Abiyasa tak pernah minta Jatah karya M. Shoim Anwar. Pada bait pertama puisi tersebut menceritakan ulama bernama Abiyasa yang memiliki sifat berpegang teguh pada prinsipnya atau bisa dikatakan dengan ulama yang memiliki idealisme. Tak tergoda dengan kilaunya dunia, tak pernah merangkak-rangkak pada penguasa untuk kepentingannya. Ulama yang berpegang teguh, meskipum diancam dengan senjata, dan bertanggung jawab atas ilmu yang diperoleh. Hakikat dari seorang ulama yang benar-benar diamalkannya. Berikut ini merupakan kutipan bait pertama:


Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia


Panutan para kawula dari awal kisah


Ia adalah cagak yang tegak


Tak pernah silau oleh gebyar dunia


Tak pernah ngiler oleh umpan penguasa


Tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah


Tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak


Tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja


Pada bait kedua menceritakan bagaimana cara ulama Abiyasa bersikap dalam mengamalkan prilaku ulama. Orang bijak mengatakan “ilmu nganti laku” yang berarti seseorang atau ulama harus mengamalkan ilmu yang diperolehnya sebaik mungkin. Ulama Abiyasa bertutur kata lemah lembut, sehingga banyak orang menyukai dan mengikuti langkahnya dalam berdakwa. Ia mampu menunjukkan berdakwa tanpa kekerasan dan dakwa yang menentramkan hati. Berikut ini merupakan kutipan bait kedua:


Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah


Marwah digenggam hingga ke dada


Tuturnya indah menyampaikan aroma bunga


Senyumnya merasuk hingga sukma langkahnya menjadi panutan bijaksana


Kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata


Pada bait ketiga menceritakan tentang jalan hidup ulama Abiyasa yang lebih memilih hidup sederhana dan berpegang teguh atas itu. Dengan sikapnya yang berpegang atas prinsipnya ia ditakuti atau disegani para raja dan penguasa. Gemerlap dunia tidak membuatnya kepincut untuk mendapatkannya. Ia lebih suka memakai pakaian yang sederhana dibanding dengan pakaian yang mewah. Ayat suci dipergunakan secara maksimal. Tidak dipesan untuk kepentingannya atau kepentingan penguasa. Inilah hakikat dari ulama.


Ulama Abiyasa bertitah


Para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya


Tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa


Menjadikan sebagai pengumpul suara


Atau diduukan di kursi untuk dipajang di depan massa


Diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah


Agar tampak sebagai barisan ulama


Ulama Abiyasa tidak membutuhkan itu semua


Datanglah jika ingin menghaturkan sembah


Semua diterimah dengan senyum memesona


Jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena


Sebab ia lurus apa adanya


Mintalah arah dan jalan sebagai amanah


Bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata


Tapi dilaksanakan sepenuh langkah


Keseluruhan makna dalam puisi tersebut adalah hakikat dari seorang ulama. Ulama yang baik adalah bertanggung jawab atas ilmu dan gelar yang diperolehnya. Dalam puisi tersebut dapat kita lihat bagaimana seorang ulama Abiyasa mampu berpegang teguh pada prinsipnya, ulama yang mampu berdiri sendiri dan berdaulat atas itu.


Sedangkan apabila dihubungkan dengan kehidupan sekarang dapat kita lihat banyaknya ulama yang pro dengan penguasa. Mereka berebut untuk menjadi bagian penting dalam kekuasaan. Mengorbankan harga diri dan membohongi ilmu yang diembannya. Namun, dibalik banyaknya ulama yang mengabaikan gelarnya ada beberapa ulama yang tidak peduli dengan kehidupan dunia. Mereka mampu untuk hidup selaras dengan ilmu yang mereka dan gelar yang didapat. Contoh saja ulama tersebut adalah CN, CN mampu untuk berdakwa dengan caranya sendiri, tanpa meminta atau memohon bantuan pemerintah. Bahkan, jika ada yang ingin memanfaatkan dirinya tidak pernah digubris jika keinginan itu untuk sesuatu yang buruk. Tidak hanya CN, masih banyak juga ulama yang benar-benar ulama, yang benar-benar mengamalkan ilmunya. berdakwah dengan ramah tanpa menyakiti siapapun.

Jumat, 19 Maret 2021

MENYUSURI PUISI “ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA" SEBAGAI BENTUK KETIMPANGAN SOSIAL

 MENYUSURI PUISI “ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA" SEBAGAI BENTUK KETIMPANGAN SOSIAL 




“ULAMA DURNA NGESOT KE ISTANA”


Puisi:  M. Shoim Anwar


 


Lihatlah


sebuah panggung di negeri sandiwara


ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana


menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah


maka kekuasaan menjadi sangat pongah


memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya


agar segala tingkah polah dianggap absah


Lihatlah


ketika Ulama Durna ngesot ke istana


menyerahkan marwah yang dulu diembannya


Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana


bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa


menunggang banteng bermata merah


mengacungkan arit sebagai senjata


memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara


Lihatlah


ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa


adakah ia hendak menyulut api baratayuda


para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah


tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula


porak poranda dijajah tipu daya


oh tahta dunia yang fana


para begundal mengaku dewa-dewa


sambil menuding ke arah kawula


seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah


Lihatlah


ketika Ulama Durna ngesot ke istana


pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra


ia diumpankan raja ke medan laga


terhenyaklah saat terkabar berita


anak hasil perzinahannya dengan satwa


telah gugur mendahului di depan sana


Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya


ia menunduk di atas tanah


riwayatnya pun berakhir sudah


kepalanya terpenggal karena terpedaya


menebus karmanya saat baratayuda


                                                   Desember 2020


 


Puisi adalah ungkapan, luapan, ataupun keresahan yang dirasakan oleh penulis yang dituangkan dalam bentuk bait-bait puisi yang indah dengan rangkaian kalimat penuh dengan makna. Dalam setiap puisi pasti menyimpan berbagai makna yang ingin disampaikan oleh penulis secara tersirat, seperti puisi M. Shoim Anwar yang berjudul “Ulama Durna Ngesot ke Istana” dalam puisi yang diciptakan oleh M. Shoim Anwar tersebut penuh dengan makna sehingga saat membacanya kita akan diajak untuk menyusuri makna demi makna tiap baitnya yang begitu membara. Penulis merasakan adanya keanehan dalam penyalahgunaan gelar untuk kepentingan pribadi.


Puisi M. Shoim Anwar yang berjudul “Ulama Durna Ngesot ke Istana” menceritakan tentang sosok tokoh ulama Durna yang menggadaikan gelarnya kepada pemerintahan demi keuntungan dan kepentingan beberapa pihak, memanipulsi ilmunya untuk menggaet kepercayaan segerombolan orang untuk mengikutinya. Berdasarkan bentuknya, puisi tersebut memiliki empat bait, setiap bait memiliki jumlah baris yang berbeda dan selalu diawali dengan kata lihatlah. Setiap bait memiliki akhiran rima yang cukup seragam yakni “a” dan “h” sehingga menambah estetik bentuk puisi. Berikut uraian makna tiap bait puisi M. Shoim Anwar yang berjudul “Ulama Durna Ngesot ke Istana”


Bait pertama kita disuruh melihat sebuah sandiwara tokoh ulama Durna yang sedang menjilat atau mencari muka pada pemerintah, demi mendapatkan keuntungan atau jatah karena kekuasaan atau kedudukan dianggap sangat penting untuk menyombongkan diri. Ulama Durna menyuguhkan ayat-ayat yang melekat pada gelarnya pada pemerintah untuk memanipulasi sebuah kebenaran, sehingga segala tingkah laku dianggap benar. Uraian makna tersebut dapat dilihat pada bait pertama puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana” sebagai berikut.


Lihatlah


sebuah panggung di negeri sandiwara


ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana


menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah


maka kekuasaan menjadi sangat pongah


memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya


agar segala tingkah polah dianggap abash


            Bait kedua menggambarkan sosok ulama Durna yang datang ke pemerintah dengan menggadaikan kehormatannya. Ulama dengan para pengikut yang dia peroleh dari hasil menjual gelar dan dalil-dalil yang digunakan sebagai senjata untuk menghakimi semua orang yang dianggapnya musuh. Uraian makna tersebut dapat dilihat pada bait kedua puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana” sebagai berikut.


Lihatlah


ketika Ulama Durna ngesot ke istana


menyerahkan marwah yang dulu diembannya


Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana


bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa


menunggang banteng bermata merah


mengacungkan arit sebagai senjata


memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara


            Bait ketiga menggambarkan Ulama Durna yang menjual dalil-dalil untuk memperkeruh suasana, para pengikutnya jatuh ke dalam sistem yang diciptakan oleh pemerintahan yang kurang memiliki kompeten. Kerusuhan terjadi di mana-mana akibat tipu daya, semua orang berupaya memperoleh kedudukan di dunia yang tidak kekal. Para penjilat mengaku sebagai pemimpin seakan dialah yang akan menguasai dunia. Uraian makna tersebut dapat dilihat pada bait ketiga puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana” sebagai berikut.


Lihatlah


ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa


adakah ia hendak menyulut api baratayuda


para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah


tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula


porak poranda dijajah tipu daya


oh tahta dunia yang fana


para begundal mengaku dewa-dewa


sambil menuding ke arah kawula


seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah


 


Bait keempat menggambarkan ulama Durna yang justru dijadikan umpan oleh para pemerintah saat perebutan kedudukan, tetapi dia justru mengalami kekalahan. Inilah karma yang dia dapat, apa yang dia tanam itulah yang akan dia tuai, jika dia menanam keburukan maka kehancuranlah yang akan dia terima. Uraian makna tersebut dapat dilihat pada bait keempat puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana” sebagai berikut.


Lihatlah


ketika Ulama Durna ngesot ke istana


pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra


ia diumpankan raja ke medan laga


terhenyaklah saat terkabar berita


anak hasil perzinahannya dengan satwa


telah gugur mendahului di depan sana


Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya


ia menunduk di atas tanah


riwayatnya pun berakhir sudah


kepalanya terpenggal karena terpedaya


menebus karmanya saat baratayuda


            Berdasarkan uraian makna puisi tiap bait di atas, dapat kita simpulkan secara keseluruhan makna puisi “Ulama Durna Ngesot ke Istana” karya M. Shoim Anwar tersebut yakni menceritakan kisah tokoh Durna sebagai seorang ulama yang justru menyalahgunakan keduduknnya, demi sebuah kepentingan penguasa. Ulama Durna tidak memikirkan dampak yang akan dia terima karena telah menggadaikan atau menjual gelarnya kepada pemerintah untuk melakukan sebuah siasat licik yang akan menyesatkan rakyat. Akhirnya kehancuranlah yang dia perolah atas perbuatannya yang licik.


            Jika kita telusuri lebih dalam lagi makna dari puisi M. Shoim Anwar yang berjudul “Ulama Durna Ngesot ke Istana” terdapat aktualisasi dengan kehidupan saat ini. Tokoh Durna dalam puisi ini sama seperti beberapa ulama di negeri kita saat ini, mereka berlomba-lomba menjerumuskan diri ke dunia politik dengan bekal dalil-dalil yang mereka jadikan senjata untuk mencari pengikut. Para ulama justru banyak yang menyerahkan diri pada pemerintah untuk dijadikan tirai atas sebuah kepentingan perebutan kedudukan dengan mengumpulkan banyak pengikut. Para pecundang berlomba-lomba menjadi petinggi negara, saat ini banyak dari para ulama yang justru dengan gampangnya menghakimi seseorang dengan dalil dan ayat-ayat yang mereka lontarkan dengan cara mencaci. Perpecahan dan kerusuhan justru terjadi karena ulah mereka sendiri.

Jumat, 12 Maret 2021

Kritik Sebuah Puisi "Dursasana Peliharaan Istana" Karya M. Shoim Anwar

 “DURSASANA  PELIHARAAN   ISTANA”

  

Dursasana adalah durjana peliharaan istana

Tingkahnya tak mengenal sendi-sendi susila

Saat masalah menggelayuti tubuh negara   

Cara terhormat untuk mengurai tak ditemukan jua

Suara  para kawula melesat-lesat bak anak panah 

Suasana kelam  bisa  meruntuhkan penguasa

Jalan pintas pun digelindingkan roda-roda gila

Dursasana  diselundupkan untuk memperkeruh suasana

Kayak jaka tingkir menyulut kerbau agar menebar amarah

Atau melempar sarang lebah agar penghuninya tak terima  

Lalu istana punya alasan menangkapi mereka

Akal-akalan purba yang telanjang mengguritasaat panji-panji negara menjadi slogan semata

Para ulama  yang bersila di samping raja

Menjadi penjilat pantat yang paling setia     

Sambil memamerkan para pengikut yang dicocok hidungnya 

 

Lihatlah  dursasana

Di depan raja dan pejabat istana

Lagak polahnya seperti paling gagah

Seakan hulubalang paling digdaya

Memamerkan segala kebengalannya

Mulut lebar berbusa-busa

Bau busuk berlompatan ke udara

Tak bisa berdiri  tenang atau bersila sahaja  

Seperti ada kalajengking mengeram di pantatnya   

Meracau mengumbar kata-kata

Raja manggut-manggut melihat dursasana

Teringat ulahnya saat menistakan wanita

Pada perjudian mencurangi  tahta

Sambil berpikir memberi tugas selanjutnya


Apa gunanya raja dan pejabat istana

Jika menggunakan jasa dursasana untuk menghina

Merendahkan martabat para anutan kawula

Menista agama dan keyakinan para jamaah   

Dursasana dibayar  dari  pajak kawula dan utang negara

Akal sehat   tersesat di selokan belantara   

Otaknya jadi sebatas di siku paha

Digantikan syahwat kuasa menyala-nyala  

Melupa sumpah yang pernah diujarnya  

Para penjilat berpesta pora

Menyesapi cucuran keringat para kawula   


Apa gunanya raja dan pejabat istana

Jika tak mampu menjaga citra  negara

Menyewa dursasana untuk menenggelamkan kawula 

Memotong lidah dan menyurukkan ke jeruji penjara

Berlagak seperti tak tahu apa-apa

Menyembunyikan tangan usai melempar bara

Ketika angkara ditebar dursasana

Dibiarkan jadi  gerakan bawah tanah  

Tak tersentuh hukum  karna berlindung di ketiak istana

 

Dursasana yang jumawa

Di babak  akhir baratayuda

Masih juga hendak membunuh bayi tak berdosa

Lalu pada wanita yang pernah dinista kehormatannya

Ditelanjangi dari kain penutup tubuh terhormatnya

Ingatlah, sang putra memendam luka membara

Dia bersumpah akan memenggal leher dursasana hingga patah

Mencucup darahnya hingga terhisap sempurna    

Lalu  si ibu yang tlah dinista martabatnya 

Hari itu melunasi janjinya:  keramas  dengan darah dursasana

                                                                                    Surabaya, 2021


Makna puisi ‘‘Darsasana Peliharaan Negara’’ Karya M. Shoim Anwar

Makna puisi dalam ‘‘Darsasana Peliharaan Negara’’ M. Shoim Anwar Istana di atas menceritakan tentang watak dan kelakuan Dursasana di dalam Istana sebagai suruhan raja dan pejabat istana yang semena-mena dengan rakyat kecil termasuk kaum wanita yang lemah. Secara keseluruhan, baris pada puisi di atas adalah 15-14-11-9-10. Dan totalnya adalah 59 baris. Apabila diperhatikan, setiap baris mempunyai rima akhiran yang sama yaitu A. Dalam diksi puisi M. Shoim Anwar dengan judul “Dursasana Peliharaan Negara” yang menceritakan bahwa peranan seorang Dursasana di dalam suatu negara yang seperti sengaja dimasukkan dalam negara secara sembunyi-sembunyi untuk membuat negara tersebut menjadi gaduh.  dengan strategi Dursasana yang sangat pintar dan cerdas membuat kericuhan saat para rakyatnya , semuanya menjadi gaduh ketika Dursasana membuat aduh domba. Kemudian Dursasana diberikan kekuasaan oleh negara dan akhirnya dia bisa menguasai pemerintahan lalu dia berusaha mengadu domba dengan omongan-omongan yang keluar dari mulutnya. Dursasana juga berlagak tidak mengetahui apa-apa tetapi di balik semuanya dialah yang menjadi dalang dalm semunya.

Kelebihan dan Kekurangan Puisi ‘‘Darsasana Peliharaan Negara’’ Karya M. Shoim Anwar

Kelebihan dalam puisi ‘‘Darsasana Peliharaan Negara’’ menceritakan makna dan kisah yang sangat baik sehingga mampu membuat sang pembaca berpikiran yang sangat indah karena puisi tersebut sangat bermakna dalam setiap diksinya

Kekurangan dalam puisi ‘‘Darsasana Peliharaan Negara’’ maknanya terletak dalam setiap pembaca yang memiliki berbagai macam pemikiran, sehingga sang pembaca belum mudah memahami secara baik dan rinci dalam puisi tersebut

Hubungan Puisi ‘‘Darsasana Peliharaan negara’’ Karya M. Shoim Anwar Dalam Cerita Mahabarata 

Dalam puisi ‘‘Darsasana Peliharaan Negara’’ dapat dihubungkan dengan kisah Mahabarata bahwa puisi tersebut memilik kesamaan dengan kisah sang Mahabarata yang menceritakan seorang Dursana yang jumawa di babak  akhir baratayuda masih juga hendak membunuh bayi tak berdosa lalu pada wanita yang pernah dinista kehormatannya ditelanjangi dari kain penutup tubuh terhormatnya, sehingga persamaannya terletak pada Dursana yang memilik kisah yang sangat tidak memilik rasa kasihan. 

Mengaitkan puisi ‘‘Darsasana Peliharaan negara’’ Karya M. Shoim Anwar Pada Dunia Nyata

Mengaitkan pada dunia masa kini yang sangat berkesinambungan pada dunia politik, kejadian yang menjadi sebuah pandangan seperti penjabat, mentri-mentri lainnya yang hanya berkorupsi pada uang masyarakat saja dan hanyak menikmati uang korupsi tersendiri tampa memikirkan masyarakat bahwa masyarakat juga membutuhkan bantuan dari sang penjabat bukan hanya di nikmati tersendiri oleh sang penjabat.

"WAKTU"

"Waktu"

Tampak jelas engkau menyusuri waktu

Ibarat kata, kala rindu menjadi bisu

Tapi, pantaskah aku mengucap rindu? 

Aku hanyalah ambang dikala sepi


Rinduku ingin kusampaikan, tetapi

Omong kosong

Hanya sebuah ilusi ketika rindu terbalaskan.

Mungkin hanya sebuah mimpi

Atau bahkan sebuah harapan yg tak berpihak.

Waktu adalah kado yang tak pernah bisa kembali

Aku bisa saja menciptakan rindu

Tapi waktu?

Ia bisa memberi kesempatan, tapi ia tak mampu menjajikan


Seperti langit yang merindukan pelangi

Untuk bertemu dengannya ia harus menunggu hujan

Kala hujan turun, ia tak menjanjikan pelangi datang

Resah memang terjadi, tapi ..

Apa boleh buat? 

Nikmat hidup harus tetap di syukur

KRITIK ESAI LIMA CERPEN M. SHOIM ANWAR

Dalam dunia sastra, nama M. Shoim Anwar tidak asing lagi. Sastrawan yang lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur sudah berada di du...